Kamis, 21 November 2013

TBM Pasas

Membaca adalah salah satu keterampilan berbahasa. Ketika seseorang sudah mendapat pendidikan formal, dia sudah dituntut untuk terampil membaca. Adanya buku paket dan LKS menandakan bahwa kegiatan membaca sangat penting untuk menambah wawasan dan memperoleh ilmu agar menjadi lebih cerdas.
Namun pada kenyataannya, kegiatan membaca ini sudah dikesampingkan oleh banyak kalangan para siswa. Mereka enggan membaca karena merasakan bahwa membaca adalah hal yang melelahkan, membuat kantuk. Seperti dongeng yang dibawakan menjelang tidur.
Insan pendidikan biasanya lebih senang menonton televisi daripada membaca buku. Mereka menyempatkan sebagian besar waktunya untuk duduk manis di depan layar kaca. Atau yang lebih modern mereka memiliki waktu besar untuk berjejaring sosial di internet dan bermain game di dalamnya. Mengabaikan buku paket dan LKS yang sudah dibeli.
Orang tua merasa risih dengan kelakuan anaknya. Mereka menyuruh anaknya untuk belajar lebih giat. Diminta membaca buku-buku referensi biar jadi bintang kelas. Namun orang tuanya sendiri tidak memberikan contoh yang baik. Mereka juga tidak pernah terlihat membaca oleh anaknya. Golongan masyarakat selalu mengatakan bahwa membaca adalah kegiatan sampingan. Sehingga tidak boleh mengganggu kesibukan. Padahal sebenarnya, itu tidaklah benar. Kegiatan manusia itu tidak akan pernah berhenti sampai dia mati. Lantas kapan meluangkan waktunya  untuk membaca?
Setelah kondisi anak dan kondisi orang tua tidak efektif untuk melakukan pembelajaran yang lebih maksimal, mereka menyerahkan sepenuhnya pada guru di sekolah masing-masing. Sayangnya, kondisi sekolah sama tidak maksimalnya. Kendalanya adalah perpustakaan sekolah yang jarang buka dan guru yang kualitasnya masih bisa dipertanyakan.
Di daerah Leuwiliang yang menjadi subjek, masih banyak guru yang masih mengenyam bangku kuliah S1. Tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa ada sebagian guru yang melakukan mal praktik di tempatnya bekerja.
Di dalam sajak Taufik Ismail yang berjudul “Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang” menunjukkan hal tersebut. Baitterakhir dari puisi tersebut berbunyi:
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”


Berangkat dari kenyataan itulah kami membuat Taman Baca Masyarakat Pasar Sastra (TBM Pasas) membuka layanan baca yang digratiskan untuk semua kalangan saat dibaca di tempat. Dimulai dari anak-anak, anak sekolah, sampai masyarakat luas termasuk kalangan pendidik.
TBM Pasas ini dikelola oleh Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang. Sebuah komunitas sosial yang awalnya menyukai segala jenis sastra. Seiring berjalannya waktu, tidak hanya sastra yang digandrungi. Buku-buku agama, non fiksi, dan pelajaran di sekolah menjadi bacaan sehari-hari.
Dari kegiatan tersebut kami berharap akan terciptanya manusia yang lebih manusiawi. Anak-anak yang berpikir cerdas, tidak adanya lagi korban malpraktik pendidikan. Yang paling utama adalah menjadikan daerah Leuwiliang memiliki generasi penerus yang cerdas, matang, dan maju untuk mengejar bahkan meninggalkan segala ketertinggalannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar