Membaca adalah
salah satu keterampilan berbahasa. Ketika seseorang sudah mendapat pendidikan
formal, dia sudah dituntut untuk terampil membaca. Adanya buku paket dan LKS
menandakan bahwa kegiatan membaca sangat penting untuk menambah wawasan dan
memperoleh ilmu agar menjadi lebih cerdas.
Namun pada
kenyataannya, kegiatan membaca ini sudah dikesampingkan oleh banyak kalangan para
siswa. Mereka enggan membaca karena merasakan bahwa membaca adalah hal yang
melelahkan, membuat kantuk. Seperti dongeng yang dibawakan menjelang tidur.
Insan
pendidikan biasanya lebih senang menonton televisi daripada membaca buku.
Mereka menyempatkan sebagian besar waktunya untuk duduk manis di depan layar
kaca. Atau yang lebih modern mereka memiliki waktu besar untuk berjejaring
sosial di internet dan bermain game di
dalamnya. Mengabaikan buku paket dan LKS yang sudah dibeli.
Orang tua
merasa risih dengan kelakuan anaknya. Mereka menyuruh anaknya untuk belajar
lebih giat. Diminta membaca buku-buku referensi biar jadi bintang kelas. Namun
orang tuanya sendiri tidak memberikan contoh yang baik. Mereka juga tidak
pernah terlihat membaca oleh anaknya. Golongan masyarakat selalu mengatakan
bahwa membaca adalah kegiatan sampingan. Sehingga tidak boleh mengganggu
kesibukan. Padahal sebenarnya, itu tidaklah benar. Kegiatan manusia itu tidak
akan pernah berhenti sampai dia mati. Lantas kapan meluangkan waktunya untuk membaca?
Setelah
kondisi anak dan kondisi orang tua tidak efektif untuk melakukan pembelajaran
yang lebih maksimal, mereka menyerahkan sepenuhnya pada guru di sekolah
masing-masing. Sayangnya, kondisi sekolah sama tidak maksimalnya. Kendalanya
adalah perpustakaan sekolah yang jarang buka dan guru yang kualitasnya masih
bisa dipertanyakan.
Di daerah
Leuwiliang yang menjadi subjek, masih banyak guru yang masih mengenyam bangku
kuliah S1. Tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa ada sebagian guru yang melakukan
mal praktik di tempatnya bekerja.
Di dalam sajak
Taufik Ismail yang berjudul “Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang” menunjukkan
hal tersebut. Baitterakhir dari puisi tersebut berbunyi:
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi
dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”
Berangkat dari kenyataan itulah kami membuat Taman Baca Masyarakat Pasar
Sastra (TBM Pasas) membuka layanan baca yang digratiskan untuk semua kalangan
saat dibaca di tempat. Dimulai dari anak-anak, anak sekolah, sampai masyarakat
luas termasuk kalangan pendidik.
TBM Pasas ini
dikelola oleh Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang. Sebuah komunitas sosial yang
awalnya menyukai segala jenis sastra. Seiring berjalannya waktu, tidak hanya
sastra yang digandrungi. Buku-buku agama, non fiksi, dan pelajaran di sekolah
menjadi bacaan sehari-hari.
Dari kegiatan
tersebut kami berharap akan terciptanya manusia yang lebih manusiawi. Anak-anak
yang berpikir cerdas, tidak adanya lagi korban malpraktik pendidikan. Yang
paling utama adalah menjadikan daerah Leuwiliang memiliki generasi penerus yang
cerdas, matang, dan maju untuk mengejar bahkan meninggalkan segala ketertinggalannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar