oleh
Tawakal M. Iqbal
Individu
mana yang tak mengenal ‘sekolah’? Bila saya masih menemukan hal tersebut, besar
kemungkinan tingkat kesadaran di tempatnya sedang dalam kondisi kurang baik
atau bahkan mengkhawatirkan. Pertumbuhan sekolah di Indonesia pada masa kini
mengalami pertumbuhan yang pesat. Maraknya sekolah ternyata tidak seiring
dengan meningkatnya intelektualitas siswa juga masyarakat negeri ini.
Sebelum
masuk ke persoalan mengapa sekolah di negeri kita tidak mampu menghadirkan
perubahan, saya akan mencoba mengajak Anda untuk mengetahui dahulu muasal kata
“sekolah”. Kata yang begitu dekat dengan kita.
Sekolah
seperti yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan
sebuah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima
dan memberi pelajaran (menurut tingkatannya, ada) dasar, lanjutan, tinggi; (menurut jurusannya, ada) dagang, guru, teknik, pertanian, dan sebagainya.
Ditilik dari pengertian tersebut, kata “sekolah”
sangat jelas ditujukan kepada sistem sebuah lembaga dan organisasi. Begitupun dengan
berbagai perangkatnya.
Di
Indonesia sendiri sekolah muncul pertama kali pada masa penjajahan kolonial
Belanda. Namun sayangnya, pada masa itu hanya masyarakat kalangan menengah atas
saja yang mampu menikmatinya. Sekolah masa penjajahan seakan menjaga
eksklusivitas siswa dengan kehidupan luar. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Ada yang berpendapat bahwa pihak Belanda merasa takut bila masyarakat Indonesia
menjadi pintar dan terdidik. Pihak Belanda pada waktu itu terlalu khawatir atau
mungkin sensitif.
Saya
tidak tahu pasti alasan tepatnya sehingga pihak Belanda berbuat demikian. Sebelum
kita menerka-nerka tentang masalah di atas ada baiknya bila menelusuri muasal
kata ‘sekolah’.
Ternyata,
seperti yang telah dikatakan banyak orang. Sejarah ‘sekolah’ bermula dari
negeri tempat berkumpulnya para dewa. Anda tentu tahu di mana itu. Ya, tepat
sekali. Yunani. Sekolah atau dalam Bahasa Yunani “skhole, scola, scolae atau schola
(Latin)” yang berarti “Waktu
Luang”. Sekolah di zaman Yunani kuno sering dilakukan banyak orang tatkala
mereka memiliki banyak waktu luang.
Mengapa
kini sekolah seakan menjauh dari muasal katanya? Nah, bila Anda penasaran, marilah
tilik peristiwa di bawah ini.
Kisah
ini bermula pada kebiasaan orang Yunani kuno. Mereka biasa mengisi waktu luang
dengan cara mengunjungi tempat-tempat tertentu yang dianggap memiliki sesuatu
yang berbeda dan nilai tersendiri. Mereka mempertanyakan dan mempelajari hal
yang memang dirasa perlu untuk diketahui. Kegiatan tersebut disebut dengan
istilah/kata skhole, scola, scolae, atau
schola. Keempat kata tersebut memilki arti sama, yakni, waktu luang yang
digunakan untuk belajar (leisure devoted
to learning).
Kebiasan
tersebut berjalan dengan baik dan semakin menanjak. Malah, kebiasaan tersebut
diberlakukan di dalam setiap keluarga. Namun, awalnya itu hanya berlaku untuk
kaum laki-laki, sebelum akhirnya diberlakukan juga untuk perempuan. Selanjutnya
kegiatan tersebut berubah peran menjadi sebuah tempat penitipan/pengasuhan anak
pada waktu senggang (scola in loco
parentis).
John
Amos Comenicus, lewat maha karyanya Didactica
Magma yang akhirnya disebut fons et
erigo (teori pengajaran), menyebut proses pengasuhan anak-anak itu mesti
dilakukan secara sistematis dan metodis. Ini disebabkan keragaman latar
belakang dan proses perkembangan anak asuhan yang memerlukan penanganan khusus.
Singkatnya setiap anak memiliki karakternya masing-masing.
Johan
Heinrich Pestalozzi pada abad ke-18 turut tampil dengan gagasannya yang lebih
terinci, yakni sistem klasikal. Yaitu metode mengelompokkan anak asuh secara
berjenjang. Gagasan inilah yang menjadi cikal bakal pola pengajaran di
sekolah-sekolah modern. Adanya istilah kelas dan tingkatan pengajaran.
Setelah membaca tulisan di atas, ternyata
konstruksi sosial lah yang turut serta mengubah sistem sekolah waktu dulu
dengan kini. Sekolah di era sekarang seakan menjadi sebuah tuntutan, menjaga
gengsi, dan merebaknya kewajiban yang memaksa siswa mengikuti aturan-aturan yang
ditetapkan di masing-masing sekolah. Sungguh terkesan memaksa dan mengekang
kebebasan siswa dalam mengembangkan
diri. Mungkin alasan mengapa maraknya
sekolah ternyata tidak seiring dengan meningkatnya intelektualitas siswa juga
masyarakat negeri ini, bukan
karena sekolah, melainkan siswanya yang tidak berterima dengan ketetapan yang
menekang. Pada dasarnya individu-individu sekarang seringkali menginginkan
kebebasan dalam pengembangan diri tanpa mengindahkan tetek bengek peraturan.
Lalu apakah dengan mengubah sistem sekolah zaman sekarang kembali pada yang
dulu, mampu menjadikan keadaan lebih baik? Wah, untuk hal tersebut saya belum
mampu menjawabnya.
Dimuat dalam Pikiran Rakyat pada tanggal 25 Agustus 2013,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar