Minggu, 24 November 2013

Sebab Individu Malas ‘Sekolah’


 oleh
Tawakal M. Iqbal

Individu mana yang tak mengenal ‘sekolah’? Bila saya masih menemukan hal tersebut, besar kemungkinan tingkat kesadaran di tempatnya sedang dalam kondisi kurang baik atau bahkan mengkhawatirkan. Pertumbuhan sekolah di Indonesia pada masa kini mengalami pertumbuhan yang pesat. Maraknya sekolah ternyata tidak seiring dengan meningkatnya intelektualitas siswa juga masyarakat negeri ini.

Sebelum masuk ke persoalan mengapa sekolah di negeri kita tidak mampu menghadirkan perubahan, saya akan mencoba mengajak Anda untuk mengetahui dahulu muasal kata “sekolah”. Kata yang begitu dekat dengan kita.

Sekolah seperti yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan sebuah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut tingkatannya, ada) dasar, lanjutan, tinggi; (menurut jurusannya, ada) dagang, guru, teknik, pertanian, dan sebagainya.  Ditilik dari pengertian tersebut, kata “sekolah” sangat jelas ditujukan kepada sistem sebuah lembaga dan organisasi. Begitupun dengan berbagai perangkatnya.

Di Indonesia sendiri sekolah muncul pertama kali pada masa penjajahan kolonial Belanda. Namun sayangnya, pada masa itu hanya masyarakat kalangan menengah atas saja yang mampu menikmatinya. Sekolah masa penjajahan seakan menjaga eksklusivitas siswa dengan kehidupan luar. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Ada yang berpendapat bahwa pihak Belanda merasa takut bila masyarakat Indonesia menjadi pintar dan terdidik. Pihak Belanda pada waktu itu terlalu khawatir atau mungkin sensitif.

Saya tidak tahu pasti alasan tepatnya sehingga pihak Belanda berbuat demikian. Sebelum kita menerka-nerka tentang masalah di atas ada baiknya bila menelusuri muasal kata ‘sekolah’.

Ternyata, seperti yang telah dikatakan banyak orang. Sejarah ‘sekolah’ bermula dari negeri tempat berkumpulnya para dewa. Anda tentu tahu di mana itu. Ya, tepat sekali. Yunani. Sekolah atau dalam Bahasa Yunani “skhole, scola, scolae atau schola (Latin)” yang berarti “Waktu Luang”. Sekolah di zaman Yunani kuno sering dilakukan banyak orang tatkala mereka memiliki banyak waktu luang.

Mengapa kini sekolah seakan menjauh dari muasal katanya? Nah, bila Anda penasaran, marilah tilik peristiwa di bawah ini.

Kisah ini bermula pada kebiasaan orang Yunani kuno. Mereka biasa mengisi waktu luang dengan cara mengunjungi tempat-tempat tertentu yang dianggap memiliki sesuatu yang berbeda dan nilai tersendiri. Mereka mempertanyakan dan mempelajari hal yang memang dirasa perlu untuk diketahui. Kegiatan tersebut disebut dengan istilah/kata skhole, scola, scolae, atau schola. Keempat kata tersebut memilki arti sama, yakni, waktu luang yang digunakan untuk belajar (leisure devoted to learning).

Kebiasan tersebut berjalan dengan baik dan semakin menanjak. Malah, kebiasaan tersebut diberlakukan di dalam setiap keluarga. Namun, awalnya itu hanya berlaku untuk kaum laki-laki, sebelum akhirnya diberlakukan juga untuk perempuan. Selanjutnya kegiatan tersebut berubah peran menjadi sebuah tempat penitipan/pengasuhan anak pada waktu senggang (scola in loco parentis).

John Amos Comenicus, lewat maha karyanya Didactica Magma yang akhirnya disebut fons et erigo (teori pengajaran), menyebut proses pengasuhan anak-anak itu mesti dilakukan secara sistematis dan metodis. Ini disebabkan keragaman latar belakang dan proses perkembangan anak asuhan yang memerlukan penanganan khusus. Singkatnya setiap anak memiliki karakternya masing-masing.

Johan Heinrich Pestalozzi pada abad ke-18 turut tampil dengan gagasannya yang lebih terinci, yakni sistem klasikal. Yaitu metode mengelompokkan anak asuh secara berjenjang. Gagasan inilah yang menjadi cikal bakal pola pengajaran di sekolah-sekolah modern. Adanya istilah kelas dan tingkatan pengajaran.
Setelah membaca tulisan di atas, ternyata konstruksi sosial lah yang turut serta mengubah sistem sekolah waktu dulu dengan kini. Sekolah di era sekarang seakan menjadi sebuah tuntutan, menjaga gengsi, dan merebaknya kewajiban yang memaksa siswa mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan di masing-masing sekolah. Sungguh terkesan memaksa dan mengekang kebebasan siswa dalam  mengembangkan diri. Mungkin alasan mengapa maraknya sekolah ternyata tidak seiring dengan meningkatnya intelektualitas siswa juga masyarakat negeri ini, bukan karena sekolah, melainkan siswanya yang tidak berterima dengan ketetapan yang menekang. Pada dasarnya individu-individu sekarang seringkali menginginkan kebebasan dalam pengembangan diri tanpa mengindahkan tetek bengek peraturan. Lalu apakah dengan mengubah sistem sekolah zaman sekarang kembali pada yang dulu, mampu menjadikan keadaan lebih baik? Wah, untuk hal tersebut saya belum mampu menjawabnya.













Dimuat dalam Pikiran Rakyat pada tanggal 25 Agustus 2013,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar