Minggu, 24 November 2013

Kematian

Puisi Tawakal M. Iqbal

:Betta Anugrah Setiani

pohon, ayunan, dan ilalang yang menepi
burung memasung matanya sendiri
ke rentang senja

hanya kenangan terpagut pada setiap keadaan
angin berhembus melawan waktu
namun tak menggugurkan daunan

di tanah ini
sesuatu tak pernah pasti
menjadi arti, padu dalam sepi

hening menyergap,
ranting retak dan rapuh,
senja menjadikanmu, penangis ulung

2013

*Dimuat dalam Pikiran Rakyat pada tanggal 21 Juli 2013

Sebab Individu Malas ‘Sekolah’


 oleh
Tawakal M. Iqbal

Individu mana yang tak mengenal ‘sekolah’? Bila saya masih menemukan hal tersebut, besar kemungkinan tingkat kesadaran di tempatnya sedang dalam kondisi kurang baik atau bahkan mengkhawatirkan. Pertumbuhan sekolah di Indonesia pada masa kini mengalami pertumbuhan yang pesat. Maraknya sekolah ternyata tidak seiring dengan meningkatnya intelektualitas siswa juga masyarakat negeri ini.

Sebelum masuk ke persoalan mengapa sekolah di negeri kita tidak mampu menghadirkan perubahan, saya akan mencoba mengajak Anda untuk mengetahui dahulu muasal kata “sekolah”. Kata yang begitu dekat dengan kita.

Sekolah seperti yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan sebuah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut tingkatannya, ada) dasar, lanjutan, tinggi; (menurut jurusannya, ada) dagang, guru, teknik, pertanian, dan sebagainya.  Ditilik dari pengertian tersebut, kata “sekolah” sangat jelas ditujukan kepada sistem sebuah lembaga dan organisasi. Begitupun dengan berbagai perangkatnya.

Di Indonesia sendiri sekolah muncul pertama kali pada masa penjajahan kolonial Belanda. Namun sayangnya, pada masa itu hanya masyarakat kalangan menengah atas saja yang mampu menikmatinya. Sekolah masa penjajahan seakan menjaga eksklusivitas siswa dengan kehidupan luar. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Ada yang berpendapat bahwa pihak Belanda merasa takut bila masyarakat Indonesia menjadi pintar dan terdidik. Pihak Belanda pada waktu itu terlalu khawatir atau mungkin sensitif.

Saya tidak tahu pasti alasan tepatnya sehingga pihak Belanda berbuat demikian. Sebelum kita menerka-nerka tentang masalah di atas ada baiknya bila menelusuri muasal kata ‘sekolah’.

Ternyata, seperti yang telah dikatakan banyak orang. Sejarah ‘sekolah’ bermula dari negeri tempat berkumpulnya para dewa. Anda tentu tahu di mana itu. Ya, tepat sekali. Yunani. Sekolah atau dalam Bahasa Yunani “skhole, scola, scolae atau schola (Latin)” yang berarti “Waktu Luang”. Sekolah di zaman Yunani kuno sering dilakukan banyak orang tatkala mereka memiliki banyak waktu luang.

Mengapa kini sekolah seakan menjauh dari muasal katanya? Nah, bila Anda penasaran, marilah tilik peristiwa di bawah ini.

Kisah ini bermula pada kebiasaan orang Yunani kuno. Mereka biasa mengisi waktu luang dengan cara mengunjungi tempat-tempat tertentu yang dianggap memiliki sesuatu yang berbeda dan nilai tersendiri. Mereka mempertanyakan dan mempelajari hal yang memang dirasa perlu untuk diketahui. Kegiatan tersebut disebut dengan istilah/kata skhole, scola, scolae, atau schola. Keempat kata tersebut memilki arti sama, yakni, waktu luang yang digunakan untuk belajar (leisure devoted to learning).

Kebiasan tersebut berjalan dengan baik dan semakin menanjak. Malah, kebiasaan tersebut diberlakukan di dalam setiap keluarga. Namun, awalnya itu hanya berlaku untuk kaum laki-laki, sebelum akhirnya diberlakukan juga untuk perempuan. Selanjutnya kegiatan tersebut berubah peran menjadi sebuah tempat penitipan/pengasuhan anak pada waktu senggang (scola in loco parentis).

John Amos Comenicus, lewat maha karyanya Didactica Magma yang akhirnya disebut fons et erigo (teori pengajaran), menyebut proses pengasuhan anak-anak itu mesti dilakukan secara sistematis dan metodis. Ini disebabkan keragaman latar belakang dan proses perkembangan anak asuhan yang memerlukan penanganan khusus. Singkatnya setiap anak memiliki karakternya masing-masing.

Johan Heinrich Pestalozzi pada abad ke-18 turut tampil dengan gagasannya yang lebih terinci, yakni sistem klasikal. Yaitu metode mengelompokkan anak asuh secara berjenjang. Gagasan inilah yang menjadi cikal bakal pola pengajaran di sekolah-sekolah modern. Adanya istilah kelas dan tingkatan pengajaran.
Setelah membaca tulisan di atas, ternyata konstruksi sosial lah yang turut serta mengubah sistem sekolah waktu dulu dengan kini. Sekolah di era sekarang seakan menjadi sebuah tuntutan, menjaga gengsi, dan merebaknya kewajiban yang memaksa siswa mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan di masing-masing sekolah. Sungguh terkesan memaksa dan mengekang kebebasan siswa dalam  mengembangkan diri. Mungkin alasan mengapa maraknya sekolah ternyata tidak seiring dengan meningkatnya intelektualitas siswa juga masyarakat negeri ini, bukan karena sekolah, melainkan siswanya yang tidak berterima dengan ketetapan yang menekang. Pada dasarnya individu-individu sekarang seringkali menginginkan kebebasan dalam pengembangan diri tanpa mengindahkan tetek bengek peraturan. Lalu apakah dengan mengubah sistem sekolah zaman sekarang kembali pada yang dulu, mampu menjadikan keadaan lebih baik? Wah, untuk hal tersebut saya belum mampu menjawabnya.













Dimuat dalam Pikiran Rakyat pada tanggal 25 Agustus 2013,

Teater, Panggung Seni Hitam

oleh 
Fahmi Reza

 
Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia pernah mengisyaratkan bahwa pengajaran drama sangat penting untuk menumbuhkan rasa percaya diri, sikap jujur, dan mencerdaskan pikiran. Dengan landasan tersebut seluruh elite pendidikan menyusun KD mengenai pembelajaran drama. Dan betul, hampir seluruh KD di SMA kelas 11 merupakan pengajaran mengenai drama.

Hanya sekarang masalahnya adalah, tenaga pendidik bahasa dan sastra Indonesia yang seharusnya mampu mengajarkan drama, seringkali tidak memiliki kemampuan untuk itu. Bukan sebuah kesalahan besar, ketika seorang guru tidak mampu melakukan itu. Kesalahan justru terletak pada sikap sombong dan tidak acuh. Setelah guru tidak mampu mengajarkan drama, dia lebih senang memberi tugas tanpa referensi. Akhirnya jadilah sebuah drama-drama kelas serupa sinetron di televisi.

Teater, dan Masyarakat Awam
Bibit-bibit di atas akan tumbuh menjadi manusia yang awam terhadap seni pertunjukan (drama). Guru-guru sastra secara tanpa sadar telah mengubah pandangan siswa secara perlahan, untuk meninggalkan seni drama. Bagaimana tidak, siswa yang salah paham, menganggap bahwa teater (dalam hal ini drama lebih dikenal sebagai teater) adalah sebuah pertunjukan yang tidak menarik, hitam, sulit dipahami, dan tidak menyenangkan. Tidak lain, itu semua karena paradigma terhadap teater disamakan dengan drama kelas yang pernah mereka pelajari semasa sekolah. Celaka. Jika sudah begini, nasib para pelaku teater dalam bahaya. Karyanya akan sulit diterima oleh masyarakat umum, sebab tumbuhnya paradigma tadi.

Kesalahan penanaman rasa cinta terhadap seni pertunjukan teater juga bukan hanya oleh oknum guru bahasa dan sastra Indonesia saja. Tetapi juga karena para pelaku teater itu sendiri. Seni pertunjukan teater adalah kesenian yang sangat kompleks. Dimana semua unsur kesenian berpadu di dalamnya. Ada seni peran, seni musik, Seni rupa (penataan panggung), seni tari, seni tata rias, dan lain-lain. “Lalu Kenapa dikatakan banyak juga pelaku Teater yang bersalah atas awamnya masyarakat terhadap teater?”

Seringkali para pelaku Teater tidak memperhatikan pertunjukan teater sebagai unsur kesenian yang kompleks. Banyak pertunjukan teater yang hanya mengedepankan satu atau dua unsur saja. Lebih ke sendra tari misalnya. Atau 100% hanya menggarap drama. Padahal selain sebagai literature. Teater juga wajib memiliki daya tarik sebagai hiburan. Agar teater tidak hanya menjadi tontonan komunitas, melainkan juga masyarakat luas.

Memang tidak salah hanya mengedepankan satu atau dua unsur saja. Asalkan Sifat Teater sebagai entertain juga tetap digarap. Seperti yang dikatakan N.Riantiarno melalui bukunya “Menyentuh Teater” yang kurang lebih begini, “ada tahapan berikutnya untuk memahami sebuah pementasan Teater dengan utuh. Tapi paling tidak para apresiator merasa senang setelah menyaksikan sebuah pementasan Teater”.

Teater di Mata Masyarakat
Kegiatan Teater sebagai kerja kreatif yang semestinya memiliki kompleksitas kesenian yang menarik, menjadi biasa saja. Hanya sedikit grup-grup teater yang telah menempuh kerja kreatif panjang dan menjadikan teater sebagai alternative hiburan yang menarik. Misal, katakan saja Teater Koma (Jakarta), Teater Gandrik (Yogyakarta), dan Teater CCL (Bandung). Meski telah banyak contoh-contoh dan referensi pertunjukan berkualitas seperti grup-grup ini. Nampaknya masih banyak grup teater remaja, bahkan senior yang masih jauh dikatakan mumpuni. Baik secara kualitas maupun kuantitas.

Ini yang menjadi penyebab masyarakat masih belum yakin pada pertunjukan teater. Seolah mereka takut membeli kucing dalam karung. Paradigma masyarakat sejak remaja, kekecewaan terhadap pertunjukan teater yang tidak memperhatikan kualitas. Serta sulitnya menjangkau (biaya yang mahal) pertunjukan-pertunjukan berkualitas. Juga animo masyarakat pada pelaku-pelaku teater itu sendiri, telah membawa pertunjukan teater menuju ruang hitam di sudut mata masyarakat.

Maka, kita selaku penggiat itu semua, semestinya mampu mengembalikan seni pertunjukan teater pada hakikat estetikanya. Bahwa teater adalah media penyampaian pesan dengan kekayaan unsur kesenian. Proses berteater adalah proses mempertajam pemahaman terhadap segala bentuk estetika hidup. Menjadi rendah hati sangat penting dalam berproses di teater. Agar senantiasa bercermin dan tetap senang hati, kerja keras berproses kreatif. Menciptakan pertunjukan yang mampu memukau masyarakat luas. Juga memindahkan teater dari kelam hitam mata, ke hati masyarakat. Amin

*Dimuat dalam opini inilah koran pada tanggal 
28 April, 2013
Sumber gambar : http://www.kelola.or.id/data/database/images/29-TANGGA2008,Yose02.jpg

 

Jumat, 22 November 2013

Tunjuk Satu Bintang


Mukodas Sinatrya

Coba Kau tunjuk satu bintang.
Sebagai pedoman langkah kita.
Jabat erat hasil karyaku.
Hingga terbias warna syahdu.

Lantunan lagu yang sengaja aku perdengarkan kepadamu. Melalui radio tape milik ayah, dengan kaset pita SO7 milik ayah pula. Sengaja sore tadi aku utak-atik media ini. Agar pada saat malam, tepat lagu ini yang berdendang. Pas ketika aku tekan tombol play. Dan sempurna, rencanaku berhasil. Bintang pun berkerlap-kerlip merestui peristiwa kita.
Aku tak peduli dengan kata-kata setelahnya. Yang penting lagu ini mewakili perasaanku kepadamu. Aku ingin kamu menunjukkan bintang yang kamu inginkan. Tidak lebih. Sebagai pedoman langkah kita. Pedoman? Apa artinya? Kita masih terlalu dini untuk mengetahui makna lagu itu secara utuh.
Lagu ini sengaja aku perdengarkan khusus untukmu malam ini. Sebelum esok pagi kita harus berpisah. Kita tengah duduk di atas rumah pohonmu. Aku tak pernah merasa sesedih ini dalam hidup. Sambil berharap bahwa perpisahan kita hanyalah semu.
Kulihat kamu tengah menengadah mencari sosok bintang yang kamu inginkan. Menengok ke kiri dan ke kanan, kemudian memperoleh satu benda bersinar yang berada di angkasa. Lantas kamu tersenyum manis, mengalahkan manisnya kopi yang sering kuteguk.
“Aku mau yang itu,” ujarmu manja. Sembari menunjukkan salah satu dari ratusan bintang yang bersinar. Andai saja aku bisa memetiknya, akan kujadikan sebagai hadiah terindah untukmu seorang. Kado istimewa yang tak mungkin bisa disamakan oleh orang lain. Tapi apa daya, aku hanyalah manusia biasa.
“Maaf, Sih. Aku tak dapat memberimu itu.” Aku sangat menyesal, kenapa harus lagu ini yang aku perdengarkan untukmu. Andai saja waktu bisa terulang kembali, akan kupilihkan gita yang bisa kupenuhi. Seperti bukan pujangga atau lagu lain.
“Tidak apa,” ujarmu lemas sekali. Nyaris tak terdengar. Aku sadar, Kamu benar-benar kecewa terhadapku. Kita kembali dalam keheningan malam. Meski lagu itu masih mengiringi percakapan malam kita.
“Asih, udah malam!” Ibumu berteriak memanggilmu di depan pintu. Menyahuti kamu yang tengah memeluk lutut dan bertopang dagu. Aku terkejut. Tak terasa malam sudah hampir larut. Kemudian menekan tombol berinisial G pada jam tangan G-shock yang melingkar pada pergelangan. Menyala hijau beberapa detik guna menunjukkan waktu. Benar saja, sudah jam 9 malam. Tak pantas anak kecil berduaan pada malam hari.
Kamu mulai beranjak turun melalui tangga. Aku tak sengaja menahanmu. Lengan putihmu kupegang erat di luar kendaliku. Aku hilaf. Selama ini aku tak pernah berani memegang tanganmu. Tapi kali ini, aku terlampau malu melakukannya. Ini di luar dugaan.
Jantungku berdegup cepat, serasa ingin melompat dari dada. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya dapat menatap matamu. Matamu pun bertemu pandang dengan netraku. Lama kita terdiam. Aku merasakan kenyamanan saat kita terdiam bersama.
“Asih!” Ibumu membuyarkan lamunan kita yang baru saja terajut. Kini aku tak kuasa menggenggam lengan indahmu. Aku lepaskan sebentar. Aku mengambil origami angsa yang kusimpan di kantung celana. Oh tidak, begitu lusuh.
“Terimakasih.” Kamu tersenyum menatap pemberian yang tak seberapa itu. Warnanya ungu, seperti warna kesukaanmu. Meski kamu tak pernah bicara terus terang tentang warna kesukaan, aku tahu itu dengan pasti.
“A, Terimakasih.” Benarkah kamu memanggilku dengan sapaan ‘A’? Aku benar-benar bahagia. Biasanya kamu panggil aku Cenil, seperti semua teman kita. Panggilan yang sebenarnya tidak kusuka. Hanya karena aku memiliki tonjolan kecil pada daun telinga bagian kanan. Benda itulah yang disebut cenil, tapi kenapa lantas aku pun dipanggi ‘Cenil’? Tapi tak apalah. Itu sudah biasa. Tetapi saat kamu panggil aku ‘A’, itu membuatku melayang. Terlebih dari mulut mungilmu. Aku ingin kamu memanggil aku dengan sebutan tadi lagi.
Kamu meneruskan perjalanan kemudian masuk ke dalam rumah, disusul ibumu. Aku pun turun dan bergegas pulang ke rumahku. Harus kembali melihat mama yang bersimbah air mata. Pasti karena ulah ayah lagi. Kuletakkan radio dan jam tangan yang pernah ia berikan pada meja kerjanya. Aku harus segera tidur. Besok pagi harus pergi ke Cirebon bersama adik. Meninggalkan ayah sendiri di kampung halaman.
***
Langkah kakiku kembali menginjak teras rumah yang telah lama tak kujamah. Di tempat inilah aku dilahirkan. Dibesarkan sampai kelas 5 SD. Di tempat ini pula aku merasakan kesedihan yang amat sangat. Melihat pertengkaran antara ayah dan mama. Adu mulut sudah menjadi menu sarapan sehari-hari. Mereka tak peduli dengan kondisi psikis dan psikologis anak-anaknya.
Praktek bullying diperagakan ayah tiada henti. Mungkin karena beban pikirannya pada pekerjaan. Sehingga mamalah yang menjadi korban sasaran. Terkadang wajahnya merah terkena tamparan. Atau bibirnya yang pecah-pecah sebab tak kuat menahan kerasnya telapak tangan yang melayang. Hingga akhirnya mereka resmi berpisah. Perceraian adalah jalan keluar terbaik yang mama pilih.
Setelah perpisahan itu aku tak pernah lagi kembali ke rumah ini.  Keputusan mama berimbas pada perpisahan aku dengan Asih. Selama itu kami tak pernah memberi kabar. Tidak ada yang namanya hand phone, electronic mail, apalagi facebook atau twitter. 9 tahun yang lalu semuanya masih asing. Atau bahkan mungkin belum ada.
Kemarin Pak Abdul datang ke rumah mama yang di Cirebon. Memberi tahu bahwa ayah kecelakaan. Meski dia telah berkeluarga lagi tapi namakulah yang disebut-sebut ayah, kata Pak Abdul menambahkan.
Sekasar apapun perlakuannya pada mama, ia tetaplah ayah kandungku. Emosi jiwa kami kentara. Usai mendengarkan berita, aku sontak panik. Takut terjadi hal yang tidak diingankan menimpa ayah. Awalnya seluruh keluarga menolak kepergianku. Terutama mama.
“Ma, ia tetap ayah kandungku Ma!” pintaku waktu itu dengan muka memelas.
“Sudah lama tak bertemu Ma, izinkan aku pergi. Mungkin inilah kesempatan terakhir bertemu dengannya.” Aku merasakan embun hangat menetes di pipiku. Aku cium telapak tangannya meski masih sesengukkan. Saat kulepaskan dan menatap matanya, ia pun ikut haru dan mulai menitikkan bulir-bulir kristal bening.
Sebenci apapun mama terhadap ayah, mereka pernah menjalin asmara. Bahkan hingga sampai pelaminan. Emosi di antara keluarga pernah menyatu.
Tok tok.
Asalamualaikum.” Kuketuk pintu yang sudah usang. Belum berganti selama aku pergi. Seorang ibu paruh baya membukakan pintunya untukku dan Pak Abdul. Dia adalah istri kedua ayah. Aku tak ingin berkomentar tentang parasnya. Ia mempersilakan kami masuk dan mulai berbincang tentang kondisi ayah.
“Seminggu yang lalu ia tertabrak mobil. Tangan dan kaki kirinya patah. Tapi ia gak mau dirawat di rumah sakit. Mau di rumah aja. Toh ada Pak Deni dari Cimande yang pandai mengobati patah tulang dengan cara tradisional. Paling 3-4 minggu lagi juga udah pulih, kata bapak. Padahal ibu khawatir dengan kondisi fisik bapak.”
Aku berjalan ke kamar ayah. Aku melihat meja kerjanya. Semuanya tertata rapi. Jam tangan dan radio tape kesayanganku masih tersimpan paling atas. Di dindingnya ada foto keluarga aku dengannya, yang bingkainya terbuat dari batang ice cream. Kami berdua  tengah tersenyum bahagia.
Aku lihat ayah tengah terkapar. Tertidur lemas dengan dibalut perban di semua badan. Mukanya tergerus aspal. Sama seperti bagian kulit yang lain. Aku dekati ia dengan mata yang mulai menitikkan air mata. Memegang erat tangannya, tak sengaja aku telah membangunkan ayah.
“Roni,” suaranya begitu lemah. Tapi gendang telingaku mampu merasakan getarannya. Lirih sekali. Aku rindu dengan suara khasnya. Sudah bertahun-tahun tidak mendengar suara langsung ayah. Dari sanalah kami berdua mulai menganaksungaikan air mata.
Alhamdulillah, dari hari ke hari kesehatan ayah menunjukkan skala positif. Tentu saja menengok ayah kali ini tidak akan menjadi hal yang sia-sia. Aku dapat menyempatkan bermain dengan kawan-kawan lama, selepas pagi membantu ayah berjalan tanpa alat bantuan. Aku memapahnya. Berjalan di luar rumah. Menyenangkan.
Bertemu dengan kawan-kawan semasa kecil adalah hal yang kurindukan. Sapaan ‘Cenil’ tak pernah lagi kudengar selama di sana. Berkumpul dengan mereka sembari bermain gapleh atau remi di pos ronda menjadi pilhan terbaik.
Menonton anak-anak yang tengah menerbangkan layang-layang menjadi pemuas nafsu tersendiri. Aku selalu teringat kenanganku dengan wanita yang dulu selalu mengikutiku, Asih. Ia selalu saja mengekor saat aku bermain layangan. Ia akan memegangi dan pergi ke arah hembusan angin tanpa aku minta. Setelah melayang, ia tampak ingin mencoba menerbangkannya.
Aku tak bisa menodai wajah lucunya dengan kesedihan. Aku pinjami ia benang yang mengendalikannya. Terkadang aku kecewa. Karena layang-layang yang ia kendalikan selalu saja menyangkut di pohon. Ia akan tersenyum dan memperlihatkan gigi ompongnya. Aku yang tadinya mau marah, akan ikut tertawa geli melihatnya.
“Ha ha ha.” Salahsatu kawan kecilku mengagetkan dengan tawa khasnya.
“Aneh, ketawa sendirian. Masih waras?” ejekku pada Bejo.
“Kamu yang aneh. Senyum-senyum sendiri. Gak bagi-bagi.”
“Ha ha,” kini giliranku yang tertawa.
“Jo, gara-gara ngeliat anak-anak itu aku jadi inget waktu kecil. Inget Asih.” Kemudian aku curhat panjang lebar tentang anak itu. Dari dulu sampai saat ini.
“Asih itu udah tunangan. Milik orang lain. Bentar lagi nikah,” cerocosnya.
Benarkah? Aku meninggalkannya 9 tahun lalu. Saat ia masih kelas 4. Kini, ia sudah dewasa dan sudah hampir menikah. Pertemuanku dengan Asih akhir-akhir ini memang selewat saja. Hanya saling sapa. Tak pernah lagi berbicara panjang lebar yang sangat kudambakan.
“Dia tunangannya sama Rio, temen SD kita.”
Rio, mendengar namanya saja aku sudah kenal. Ia adalah teman baikku ketika masih kecil. Dulu kami sering berbagi dalam hal apapun. Bahkan untuk contekan yang tak diperbolehkan. Tetapi untuk Asih, lelaki mana yang mau berbagi cintanya kepada seorang wanita.
***
Asih, sebelumnya aku ingin ucapkan terimakasih. Kamu sudah mau bertemu denganku di rumah pohon ini. Mungkin inilah pertemuan terakhir kita. Aku harus kembali pulang ke Cirebon esok pagi. Sama seperti beberapa tahun lalu. Saat aku tinggalkan kamu dulu. Posisi dudukmu pun masih sama seperti dahulu. Memeluk lutut sambil bertopang dagu. Hanya saja kini kamu tengah menggenggam telepon seluler.
Semoga kamu masih ingat masa kecil kita. Saat membuat rumah pohon ini bersama Pak Abdul, ayahmu. Sepertinya aku tidak percaya, karena hasta karya kita masih kokoh meski dimakan usia.
Rambutmu kini panjang menjulang. Hitam mengilat. Langit malam pun kalah telak jika disandingkan dengan pekatnya keindahan rambutmu. Aku tak mampu membelaimu, menyentuhmu, terlebih memilikimu.
Kamu bukanlah Drupadi yang mampu membagi cintanya kepada 5 kesatria bersaudara sekaligus. Dan aku bukanlah Ramayana yang meragukan kesucian kekasihnya. Aku juga tak akan pernah sudi membagimu dengan orang lain. Selamanya aku tak akan pernah rela.
Asih, aku tidak peduli dengan apa yang kamu lakukan selama aku tak ada di sini. Saat jauh dari sisimu. Aku tak peduli tentang kamu yang telah tunangan. Dan aku tak peduli betapa sayangnya dirimu kepada Rio. Aku hanya ingin kamu yang sekarang. Karena yang aku butuhkan adalah kamu yang tengah duduk di sampingku. Seseorang yang berada dekat denganku, tetapi serasa ada sekat tebal yang menghadang. Yang selalu memisahkan antara cintaku dengan hatimu.
Kamu mulai memainkan musik yang ada dalam hpmu. Gendang telingaku menangkap getaran yang sudah lama aku tidak aku dengar. Indah, mengalun lembut.
Hu la la … Hu la la… Lagu itu merespons memoriku. Ini adalah gita yang memiliki kenangan indah antara kamu dan aku.
Hu la la … Hu la la… hu. Benar. Jantungku berdegup lebih cepat. Peluh pun mulai membanjiri leher dan wajah.
Coba Kau tunjuk satu bintang. Lagu itu begitu syahdu. Lembut, mengalun dengan indah. Memautkan hati ini pada kenangan yang telah lalu. Apakah kamu masih ingat? Aku tak akan pernah lupa dengan lagu ini. Lagu cinta yang pertama kali aku berikan kepada anak belia yang kini beranjak dewasa. Aku sungguh terharu. Sangat.
Sebagai pedoman langkah kita. Aku tersenyum sendiri mendengar kalimat itu. Pedoman? Kata yang dulu mengusikku untuk berpikir keras. Ha ha. Kini kita bukanlah anak-anak yang belum mengerti maknanya. Kita sudah dewasa. Dan aku yakin kita telah tahu maksudnya, meski kita tak saling bicara.
Jabat erat hasil karyaku. Kamu membuka sebuah buku. Kamu memperlihatkan sebuah benda yang mengganjal. Lipatan kertas berbentuk angsa ungu. Itukah origami yang pernah aku berikan? Ternyata kamu masih menyimpannya. Tersimpan sebagai pembatas buku agar tidak lusuh. Kurasakan air mata turun tertarik gravitasi.
Hingga terbias warna syahdu. Aku tak mengerti. Tapi aku masih menangis. Lantunannya membawa ke dunia fana. Alam yang kita ciptakan sendiri. Di mana hanya aku dan kamu yang menjadi penghuninya. Kita adalah pasangan yang sangat bahagia.
Lagu ini masih menggema di kuping kita. Tetapi kita abaikan. Kita tengah asyik dengan imajinasi. Dalam negeri khayalan pun aku tak kuasa menyentuhmu. Ada penghalang antara kamu dan aku, mungkin itu rasa minder untuk memilikimu yang sangat berharga. Tak kuduga, kamu duluanlah yang menyimpan telapak tanganmu di pahaku.
Bukan, ini bukan khayalan. Kamu simpan tanganmu saat aku menangis terharu. Kemudian kamu menghapusnya dengan ibu jarimu yang lentik itu. Aku tak ingin malam ini segera berakhir.
“Kamu ingat dengan semua ini?” tanyaku sambil memberanikan diri memegang  tangannya. Tentu saja tembang tunjuk satu bintang dari Sheila On Seven masih mengudara. Lagu ini menjadi latar belakang percakapan malam kita.
Kamu jawab dengan senyuman manis. Bahkan lautan tuak pun tak sebanding dengan sunggingan manismu itu.
“A,” ucapanmu itu mengingatkanku pada harapanku yang dulu. Ingin sekali aku dipanggil olehmu dengan sapaan itu. Selamanya.
“Asih tak akan lupa dengan kenangan kita, A! Saat main bepe, ngadu cupang, ujan-ujanan, mentang layangan, gupak di sawah. Itu semua terlalu menyenangkan, sulit dilupakan.”
“Tapi kini Asih telah nerima lamaran Bang Rio. Kami sudah lama tunangan, dan bentar lagi nikah,” ujarmu mendesah. Sembari menunjukkan cincin indah yang melingkar di jari manismu. Seakan mencekik leherku.
Begitu cepat keindahan malam ini harus berakhir. Baru saja aku merasa melayang di udara karena ucapanmu yang tak bisa melupakan kisah kita. Kemudian kamu langsung menjatuhkan harapanku dengan berkata akan segera menikah. Harapanku kembali musnah.
“Asih, Coba Kau tunjuk satu bintang!” pintaku padanya. Tanganku menengadah ke angkasa raya. Mempersilakanmu memilih bintang lagi. Sekalipun kamu menunjukkan satu bintang bersinar, kini aku bersedia membawakannya untukmu.
Tapi kini jawabanmu berubah. Kamu gelengkan kepalamu. Lantas meletakkan angsa ungu pada telapak tanganmu. Kamu menempatkannya diantara dua wajah kita yang saling berhadapan satu sama lain.
“Inilah Bintangku,” ucapmu fasih.
“Origami itu?” tanyaku heran.
“Ia. Bintangku adalah ini. Bagiku bintang adalah sesuatu yang mampu bersinar di tempat yang jauh. Memberi petunjuk keberadaannya, saat salah melangkah.” Kata-katamu bersayap. Aku sulit memahaminya.
“Sama seperti angsa ungu buatanmu,” tambahmu lagi. Sebenarnya aku masih belum mengerti. Tapi aku nyaman mendengarnya.
Kita berdua berdua begitu syahdu pada peristiwa kali ini. Angin malam menusuk-nusuk rusuk. Tapi tak apalah, karena besok pagi aku akan pergi jauh, kembali meninggalkanmu.
“Asih!” Ibumu memanggil. Suara itu seperti alarm yang berbunyi saat malam menjelang. Kamu pasti tak mau mengecewakannya. Aku pun tak akan mencegahmu, tidak seperti dulu. Aku membiarkanmu begitu saja. Kamu turun ke bawah dan masuk ke rumah disusul ibumu. Meninggalkan aku yang masih berada di atas rumah pohon ini.
Aku menarik nafas panjang, kemudian berbaring. Mencoba menghilangkan penat dalam dada. Aku mulai menutup mata. Hijau bukan hitam. Aneh, ketika aku menutup mata, aku rasakan cahaya hijau yang melingkupi kelopak. Aku kembali menutup mata, masih hijau. Mungkin inilah warna syahdu. Hijau, seperti warna surga.



Leuwiliang, 2011

*Dipublikasikan dalam buku antologi cerpen "100% Cinta, Kunpulan Cerpen Ber-soundtrack "
Ket Gambar : 
http://a1.ec-images.myspacecdn.com/images02/114/315f309665ed4a5ebca5f7cab164be35/l.jpg

Kamis, 21 November 2013

Event : 120 Puisi, Penyair Bogor

Dengan bangga, Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang (KPSL) mengajak dan mengundang para penyair muda Bogor untuk bergabung dalam penyusunan sebuah buku antologi puisi "120 Puisi Penyair Bogor” dan sekaligus memperingati 1 tahun KPSL berdiri. Antologi ini direncanakan terbit pada April 2014 bertepatan dengan Bulan Sastra.

Syarat dan Ketentuan:
1. Siapa saja, segala usia, pria/wanita, berdomisili di wilayah Bogor Raya.
2. Setiap penyair dipersilakan mengirim hanya 5 buah puisi, puisi akan diseleksi oleh dewan kurator (sastrawan Indonesia).
3. Tema puisi “Bogor, Budaya, dan Cinta”.
4. Puisi harus karya terbaru, belum pernah dimuat dalam media apapun, belum pernah diterbitkan, dan tidak sedang diikutkan dalam lomba.
5. Saat dikirim puisi dalam bentuk lampiran (attachment), bukan ditulis di badan email. Serta harus dilengkapi dengan biodata penyair: Nama, Tempat Tanggal Lahir, Alamat Lengkap, No Telp, Akun FB, Twitter.
6. Sertakan juga file foto diri close-up terbaru.
7. Puisi dikirim ke email: office.kpsl@yahoo.com di CC ke : office.kpsl@gmail.com, paling lambat sudah harus diterima pada 28 Februari 2014 pukul 23:50 WIB.
8. Email harus menggunakan Subjek: Puisi Antologi Bogor– [nama penyair]. Contoh: Puisi Antologi Bogor– Alanwari.

Penghargaan:
1. Puisi yang lolos seleksi oleh dewan kurator, akan diterbitkan dalam buku Antologi 120 Puisi Penyair Bogor.
2. Penyair yang mengirimkan karyanya akan secara otomatis menjadi anggota dari Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang (KPSL).
4. Mengingat penerbitan buku ini tidak untuk keperluan komersial, para penyair yang karyanya dimuat tidak memperoleh honorarium/royalti. Namun akan diberi apresiasi khusus berupa 1(satu) buku sebagai bukti dan akan diundang pada saat launching buku 120 Puisi Penyair Bogor.

Lain-lain:
Segala pertanyaan mengenai 120 Puisi Penyair Bogor Barat silakan dilayangkan ke:
1. Facebook : https://www.facebook.com/pasarsastraleuwiliang atau Yuna Zahrotunnisa.
2. Twitter : @sastralwliang / @anugrahpena (Betta Anugrah Setiani) /@QeMpotz_Lale (Irma Agustina)

3. Blog : berandapasarsastra.blogspot.com
3. Ponsel : Yuna Zahrotunnisa (0858-9086-4135)
Fahmi Reza (0897-976-1088) 


TBM Pasas

Membaca adalah salah satu keterampilan berbahasa. Ketika seseorang sudah mendapat pendidikan formal, dia sudah dituntut untuk terampil membaca. Adanya buku paket dan LKS menandakan bahwa kegiatan membaca sangat penting untuk menambah wawasan dan memperoleh ilmu agar menjadi lebih cerdas.
Namun pada kenyataannya, kegiatan membaca ini sudah dikesampingkan oleh banyak kalangan para siswa. Mereka enggan membaca karena merasakan bahwa membaca adalah hal yang melelahkan, membuat kantuk. Seperti dongeng yang dibawakan menjelang tidur.
Insan pendidikan biasanya lebih senang menonton televisi daripada membaca buku. Mereka menyempatkan sebagian besar waktunya untuk duduk manis di depan layar kaca. Atau yang lebih modern mereka memiliki waktu besar untuk berjejaring sosial di internet dan bermain game di dalamnya. Mengabaikan buku paket dan LKS yang sudah dibeli.
Orang tua merasa risih dengan kelakuan anaknya. Mereka menyuruh anaknya untuk belajar lebih giat. Diminta membaca buku-buku referensi biar jadi bintang kelas. Namun orang tuanya sendiri tidak memberikan contoh yang baik. Mereka juga tidak pernah terlihat membaca oleh anaknya. Golongan masyarakat selalu mengatakan bahwa membaca adalah kegiatan sampingan. Sehingga tidak boleh mengganggu kesibukan. Padahal sebenarnya, itu tidaklah benar. Kegiatan manusia itu tidak akan pernah berhenti sampai dia mati. Lantas kapan meluangkan waktunya  untuk membaca?
Setelah kondisi anak dan kondisi orang tua tidak efektif untuk melakukan pembelajaran yang lebih maksimal, mereka menyerahkan sepenuhnya pada guru di sekolah masing-masing. Sayangnya, kondisi sekolah sama tidak maksimalnya. Kendalanya adalah perpustakaan sekolah yang jarang buka dan guru yang kualitasnya masih bisa dipertanyakan.
Di daerah Leuwiliang yang menjadi subjek, masih banyak guru yang masih mengenyam bangku kuliah S1. Tidak dapat dimungkiri lagi, bahwa ada sebagian guru yang melakukan mal praktik di tempatnya bekerja.
Di dalam sajak Taufik Ismail yang berjudul “Pelajaran Tatabahasa dan Mengarang” menunjukkan hal tersebut. Baitterakhir dari puisi tersebut berbunyi:
“Wahai Pak Guru, jangan kami disalahkan apalagi dicerca
Bila kami tak mampu mengembangkan kosa kata
Selama ini kami ‘kan diajar menghafal dan menghafal saja
Mana ada dididik mengembangkan logika
Mana ada diajar berargumentasi dengan pendapat berbeda
Dan mengenai masalah membaca buku dan karya sastra
Pak Guru sudah tahu lama sekali
Mata kami rabun novel, rabun cerpen, rabun drama dan rabun puisi
Tapi mata kami ‘kan nyalang bila menonton televisi.”


Berangkat dari kenyataan itulah kami membuat Taman Baca Masyarakat Pasar Sastra (TBM Pasas) membuka layanan baca yang digratiskan untuk semua kalangan saat dibaca di tempat. Dimulai dari anak-anak, anak sekolah, sampai masyarakat luas termasuk kalangan pendidik.
TBM Pasas ini dikelola oleh Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang. Sebuah komunitas sosial yang awalnya menyukai segala jenis sastra. Seiring berjalannya waktu, tidak hanya sastra yang digandrungi. Buku-buku agama, non fiksi, dan pelajaran di sekolah menjadi bacaan sehari-hari.
Dari kegiatan tersebut kami berharap akan terciptanya manusia yang lebih manusiawi. Anak-anak yang berpikir cerdas, tidak adanya lagi korban malpraktik pendidikan. Yang paling utama adalah menjadikan daerah Leuwiliang memiliki generasi penerus yang cerdas, matang, dan maju untuk mengejar bahkan meninggalkan segala ketertinggalannya.

Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang (KPSL)

Tidak mudah menemukan toko buku yang berkualitas di bogor barat. Hal tersebut mengakibatkan pula buruknya kesadaran gemar membaca di kalangan masyarakat. Padahal, berliterasi (kegiatan baca-tulis) adalah hal yang penting dilakukan. Masa peradaban manusia saja disebut bersejarah ketika ada tulisan. Sejarah Indonesia dimulai dengan adanya yupa (prasasti) di Kota Kutai pada abad ke-IV Masehi. Pertanyaan yang mendasar adalah, Apakah tidak layak kehidupan disebut sejarah sebelum ditemukannya sebuah tulisan?  Jawabannya sederhana, di sanalah letak kekuatan literasi.

Komunitas Pasar Sastra Leuwiliang terbentuk karena kemirisan hal tersebut. Sebuah komunitas sastra yang bergerak di bidang literasi. Dinamakan pasar karena pada dasarnya pasar adalah pusatnya tempat transfer uang menjadi barang. Begitu pun dengan Pasar Sastra, tempatnya memindahkan informasi-informasi mengenai sastra dari kepala ke kepala lain.


Di kantor KPSL yang bertempat di Pertokoan ATC Leuwiliang Blok H-8, didirikanlah sebuah perpustakaan umum yang bisa dibaca gratis selama di tempat. Kantor tersebut juga adalah tempat sharing dan diskusi mengenai sastra. Pintu kami selalu terbuka dengan lebar bagi siapapun yang hendak berkunjung.