Mukodas Sinatrya
Coba Kau tunjuk satu bintang.
Sebagai pedoman langkah kita.
Jabat erat hasil karyaku.
Hingga terbias warna syahdu.
Lantunan lagu yang sengaja aku perdengarkan kepadamu.
Melalui radio tape milik ayah, dengan
kaset pita SO7 milik ayah pula. Sengaja sore tadi aku utak-atik media ini. Agar
pada saat malam, tepat lagu ini yang berdendang. Pas ketika aku tekan tombol play. Dan sempurna, rencanaku berhasil.
Bintang pun berkerlap-kerlip merestui peristiwa kita.
Aku tak peduli dengan kata-kata setelahnya. Yang penting
lagu ini mewakili perasaanku kepadamu. Aku ingin kamu menunjukkan bintang yang
kamu inginkan. Tidak lebih. Sebagai
pedoman langkah kita. Pedoman? Apa artinya? Kita masih terlalu dini untuk
mengetahui makna lagu itu secara utuh.
Lagu ini sengaja aku perdengarkan khusus untukmu malam
ini. Sebelum esok pagi kita harus berpisah. Kita tengah duduk di atas rumah
pohonmu. Aku tak pernah merasa sesedih ini dalam hidup. Sambil berharap bahwa
perpisahan kita hanyalah semu.
Kulihat kamu tengah menengadah mencari sosok bintang
yang kamu inginkan. Menengok ke kiri dan ke kanan, kemudian memperoleh satu
benda bersinar yang berada di angkasa. Lantas kamu tersenyum manis, mengalahkan
manisnya kopi yang sering kuteguk.
“Aku mau yang itu,” ujarmu manja. Sembari menunjukkan
salah satu dari ratusan bintang yang bersinar. Andai saja aku bisa memetiknya,
akan kujadikan sebagai hadiah terindah untukmu seorang. Kado istimewa yang tak
mungkin bisa disamakan oleh orang lain. Tapi apa daya, aku hanyalah manusia
biasa.
“Maaf, Sih. Aku tak dapat memberimu itu.” Aku sangat
menyesal, kenapa harus lagu ini yang aku perdengarkan untukmu. Andai saja waktu
bisa terulang kembali, akan kupilihkan gita yang bisa kupenuhi. Seperti bukan pujangga atau lagu lain.
“Tidak apa,” ujarmu lemas sekali. Nyaris tak terdengar. Aku
sadar, Kamu benar-benar kecewa terhadapku. Kita kembali dalam keheningan malam.
Meski lagu itu masih mengiringi percakapan malam kita.
“Asih, udah malam!” Ibumu berteriak memanggilmu di depan pintu. Menyahuti kamu yang tengah
memeluk lutut dan bertopang dagu. Aku terkejut. Tak terasa malam sudah hampir
larut. Kemudian menekan tombol berinisial G pada jam tangan G-shock yang melingkar pada pergelangan.
Menyala hijau beberapa detik guna menunjukkan waktu. Benar saja, sudah jam 9
malam. Tak pantas anak kecil berduaan pada malam hari.
Kamu mulai beranjak turun melalui tangga. Aku tak
sengaja menahanmu. Lengan putihmu kupegang erat di luar kendaliku. Aku hilaf.
Selama ini aku tak pernah berani memegang tanganmu. Tapi kali ini, aku
terlampau malu melakukannya. Ini di luar dugaan.
Jantungku berdegup cepat, serasa ingin melompat dari
dada. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya dapat menatap matamu. Matamu
pun bertemu pandang dengan netraku. Lama kita terdiam. Aku merasakan kenyamanan
saat kita terdiam bersama.
“Asih!” Ibumu membuyarkan lamunan kita yang baru saja terajut. Kini aku
tak kuasa menggenggam lengan indahmu. Aku lepaskan sebentar. Aku mengambil origami angsa yang kusimpan di kantung
celana. Oh tidak, begitu lusuh.
“Terimakasih.” Kamu tersenyum menatap pemberian yang tak
seberapa itu. Warnanya ungu, seperti warna kesukaanmu. Meski kamu tak pernah
bicara terus terang tentang warna kesukaan, aku tahu itu dengan pasti.
“A, Terimakasih.” Benarkah kamu memanggilku dengan
sapaan ‘A’? Aku benar-benar bahagia. Biasanya kamu panggil aku Cenil, seperti
semua teman kita. Panggilan yang sebenarnya tidak kusuka. Hanya karena aku
memiliki tonjolan kecil pada daun telinga bagian kanan. Benda itulah yang disebut
cenil, tapi kenapa lantas aku pun dipanggi ‘Cenil’? Tapi tak apalah. Itu sudah
biasa. Tetapi saat kamu panggil aku ‘A’, itu membuatku melayang. Terlebih dari
mulut mungilmu. Aku ingin kamu memanggil aku dengan sebutan tadi lagi.
Kamu meneruskan perjalanan kemudian masuk ke dalam
rumah, disusul ibumu. Aku pun turun dan bergegas pulang ke rumahku. Harus
kembali melihat mama yang bersimbah air mata. Pasti karena ulah ayah lagi. Kuletakkan
radio dan jam tangan yang pernah ia berikan pada meja kerjanya. Aku harus
segera tidur. Besok pagi harus pergi ke Cirebon bersama adik. Meninggalkan ayah
sendiri di kampung halaman.
***
Langkah kakiku kembali menginjak teras rumah yang telah
lama tak kujamah. Di tempat inilah aku dilahirkan. Dibesarkan sampai kelas 5
SD. Di tempat ini pula aku merasakan kesedihan yang amat sangat. Melihat
pertengkaran antara ayah dan mama. Adu mulut sudah menjadi menu sarapan
sehari-hari. Mereka tak peduli dengan kondisi psikis dan psikologis
anak-anaknya.
Praktek bullying
diperagakan ayah tiada henti. Mungkin karena beban pikirannya pada pekerjaan.
Sehingga mamalah yang menjadi korban sasaran. Terkadang wajahnya merah terkena
tamparan. Atau bibirnya yang pecah-pecah sebab tak kuat menahan kerasnya
telapak tangan yang melayang. Hingga akhirnya mereka resmi berpisah. Perceraian
adalah jalan keluar terbaik yang mama pilih.
Setelah perpisahan itu aku tak pernah lagi kembali ke
rumah ini. Keputusan mama berimbas pada
perpisahan aku dengan Asih. Selama itu kami tak pernah memberi kabar. Tidak ada
yang namanya hand phone, electronic mail,
apalagi facebook atau twitter. 9 tahun yang lalu semuanya
masih asing. Atau bahkan mungkin belum ada.
Kemarin Pak Abdul datang ke rumah mama yang di Cirebon.
Memberi tahu bahwa ayah kecelakaan. Meski dia telah berkeluarga lagi tapi
namakulah yang disebut-sebut ayah, kata Pak Abdul menambahkan.
Sekasar apapun perlakuannya pada mama, ia tetaplah ayah
kandungku. Emosi jiwa kami kentara. Usai mendengarkan berita, aku sontak panik.
Takut terjadi hal yang tidak diingankan menimpa ayah. Awalnya seluruh keluarga
menolak kepergianku. Terutama mama.
“Ma, ia tetap ayah kandungku Ma!” pintaku waktu itu
dengan muka memelas.
“Sudah lama tak bertemu Ma, izinkan aku pergi. Mungkin inilah
kesempatan terakhir bertemu dengannya.” Aku merasakan embun hangat menetes di
pipiku. Aku cium telapak tangannya meski masih sesengukkan. Saat kulepaskan dan
menatap matanya, ia pun ikut haru dan mulai menitikkan bulir-bulir kristal
bening.
Sebenci apapun mama terhadap ayah, mereka pernah
menjalin asmara. Bahkan hingga sampai pelaminan. Emosi di antara keluarga
pernah menyatu.
Tok tok.
“Asalamualaikum.”
Kuketuk pintu yang sudah usang. Belum berganti selama aku pergi. Seorang ibu
paruh baya membukakan pintunya untukku dan Pak Abdul. Dia adalah istri kedua ayah.
Aku tak ingin berkomentar tentang parasnya. Ia mempersilakan kami masuk dan mulai
berbincang tentang kondisi ayah.
“Seminggu yang lalu ia tertabrak mobil. Tangan dan kaki
kirinya patah. Tapi ia gak mau dirawat di rumah sakit. Mau di rumah aja. Toh ada
Pak Deni dari Cimande yang pandai mengobati patah tulang dengan cara
tradisional. Paling 3-4 minggu lagi juga udah pulih, kata bapak. Padahal ibu
khawatir dengan kondisi fisik bapak.”
Aku berjalan ke kamar ayah. Aku melihat meja kerjanya.
Semuanya tertata rapi. Jam tangan dan radio
tape kesayanganku masih tersimpan paling atas. Di dindingnya ada foto
keluarga aku dengannya, yang bingkainya terbuat dari batang ice cream. Kami berdua tengah tersenyum bahagia.
Aku lihat ayah tengah terkapar. Tertidur lemas dengan
dibalut perban di semua badan. Mukanya tergerus aspal. Sama seperti bagian
kulit yang lain. Aku dekati ia dengan mata yang mulai menitikkan air mata.
Memegang erat tangannya, tak sengaja aku telah membangunkan ayah.
“Roni,” suaranya begitu lemah. Tapi gendang telingaku
mampu merasakan getarannya. Lirih sekali. Aku rindu dengan suara khasnya. Sudah
bertahun-tahun tidak mendengar suara langsung ayah. Dari sanalah kami berdua
mulai menganaksungaikan air mata.
Alhamdulillah, dari hari ke hari kesehatan ayah
menunjukkan skala positif. Tentu saja menengok ayah kali ini tidak akan menjadi
hal yang sia-sia. Aku dapat menyempatkan bermain dengan kawan-kawan lama,
selepas pagi membantu ayah berjalan tanpa alat bantuan. Aku memapahnya.
Berjalan di luar rumah. Menyenangkan.
Bertemu dengan kawan-kawan semasa kecil adalah hal yang
kurindukan. Sapaan ‘Cenil’ tak pernah lagi kudengar selama di sana. Berkumpul
dengan mereka sembari bermain gapleh atau remi di pos ronda menjadi pilhan
terbaik.
Menonton anak-anak yang tengah menerbangkan
layang-layang menjadi pemuas nafsu tersendiri. Aku selalu teringat kenanganku
dengan wanita yang dulu selalu mengikutiku, Asih. Ia selalu saja mengekor saat
aku bermain layangan. Ia akan memegangi dan pergi ke arah hembusan angin tanpa
aku minta. Setelah melayang, ia tampak ingin mencoba menerbangkannya.
Aku tak bisa menodai wajah lucunya dengan kesedihan. Aku
pinjami ia benang yang mengendalikannya. Terkadang aku kecewa. Karena
layang-layang yang ia kendalikan selalu saja menyangkut di pohon. Ia akan
tersenyum dan memperlihatkan gigi ompongnya. Aku yang tadinya mau marah, akan
ikut tertawa geli melihatnya.
“Ha ha ha.” Salahsatu kawan kecilku mengagetkan dengan
tawa khasnya.
“Aneh, ketawa sendirian. Masih waras?” ejekku pada Bejo.
“Kamu yang aneh. Senyum-senyum sendiri. Gak bagi-bagi.”
“Ha ha,” kini giliranku yang tertawa.
“Jo, gara-gara ngeliat anak-anak itu aku jadi inget
waktu kecil. Inget Asih.” Kemudian aku curhat panjang lebar tentang anak itu.
Dari dulu sampai saat ini.
“Asih itu udah tunangan. Milik orang lain. Bentar lagi
nikah,” cerocosnya.
Benarkah? Aku meninggalkannya 9 tahun lalu. Saat ia
masih kelas 4. Kini, ia sudah dewasa dan sudah hampir menikah. Pertemuanku
dengan Asih akhir-akhir ini memang selewat saja. Hanya saling sapa. Tak pernah
lagi berbicara panjang lebar yang sangat kudambakan.
“Dia tunangannya sama Rio, temen SD kita.”
Rio, mendengar namanya saja aku sudah kenal. Ia adalah
teman baikku ketika masih kecil. Dulu kami sering berbagi dalam hal apapun.
Bahkan untuk contekan yang tak diperbolehkan. Tetapi untuk Asih, lelaki mana
yang mau berbagi cintanya kepada seorang wanita.
***
Asih, sebelumnya aku ingin ucapkan terimakasih. Kamu sudah
mau bertemu denganku di rumah pohon ini. Mungkin inilah pertemuan terakhir
kita. Aku harus kembali pulang ke Cirebon esok pagi. Sama seperti beberapa
tahun lalu. Saat aku tinggalkan kamu dulu. Posisi dudukmu pun masih sama
seperti dahulu. Memeluk lutut sambil bertopang dagu. Hanya saja kini kamu
tengah menggenggam telepon seluler.
Semoga kamu masih ingat masa kecil kita. Saat membuat
rumah pohon ini bersama Pak Abdul, ayahmu. Sepertinya aku tidak percaya, karena
hasta karya kita masih kokoh meski dimakan usia.
Rambutmu kini panjang menjulang. Hitam mengilat. Langit
malam pun kalah telak jika disandingkan dengan pekatnya keindahan rambutmu. Aku
tak mampu membelaimu, menyentuhmu, terlebih memilikimu.
Kamu bukanlah Drupadi yang mampu membagi cintanya kepada
5 kesatria bersaudara sekaligus. Dan aku bukanlah Ramayana yang meragukan
kesucian kekasihnya. Aku juga tak akan pernah sudi membagimu dengan orang lain.
Selamanya aku tak akan pernah rela.
Asih, aku tidak peduli dengan apa yang kamu lakukan
selama aku tak ada di sini. Saat jauh dari sisimu. Aku tak peduli tentang kamu
yang telah tunangan. Dan aku tak peduli betapa sayangnya dirimu kepada Rio. Aku
hanya ingin kamu yang sekarang. Karena yang aku butuhkan adalah kamu yang
tengah duduk di sampingku. Seseorang yang berada dekat denganku, tetapi serasa
ada sekat tebal yang menghadang. Yang selalu memisahkan antara cintaku dengan
hatimu.
Kamu mulai memainkan musik yang ada dalam hpmu. Gendang
telingaku menangkap getaran yang sudah lama aku tidak aku dengar. Indah,
mengalun lembut.
Hu la la … Hu la
la… Lagu itu merespons memoriku. Ini adalah gita
yang memiliki kenangan indah antara kamu dan aku.
Hu la la … Hu la
la… hu. Benar. Jantungku berdegup lebih cepat. Peluh
pun mulai membanjiri leher dan wajah.
Coba Kau tunjuk
satu bintang. Lagu itu begitu syahdu. Lembut,
mengalun dengan indah. Memautkan hati ini pada kenangan yang telah lalu. Apakah
kamu masih ingat? Aku tak akan pernah lupa dengan lagu ini. Lagu cinta yang
pertama kali aku berikan kepada anak belia yang kini beranjak dewasa. Aku
sungguh terharu. Sangat.
Sebagai pedoman
langkah kita. Aku tersenyum sendiri mendengar
kalimat itu. Pedoman? Kata yang dulu mengusikku untuk berpikir keras. Ha ha.
Kini kita bukanlah anak-anak yang belum mengerti maknanya. Kita sudah dewasa.
Dan aku yakin kita telah tahu maksudnya, meski kita tak saling bicara.
Jabat erat hasil
karyaku. Kamu membuka sebuah buku. Kamu
memperlihatkan sebuah benda yang mengganjal. Lipatan kertas berbentuk angsa
ungu. Itukah origami yang pernah aku
berikan? Ternyata kamu masih menyimpannya. Tersimpan sebagai pembatas buku agar
tidak lusuh. Kurasakan air mata turun tertarik gravitasi.
Hingga terbias
warna syahdu. Aku tak mengerti. Tapi aku masih
menangis. Lantunannya membawa ke dunia fana. Alam yang kita ciptakan sendiri.
Di mana hanya aku dan kamu yang menjadi penghuninya. Kita adalah pasangan yang
sangat bahagia.
Lagu ini masih menggema di kuping kita. Tetapi kita
abaikan. Kita tengah asyik dengan imajinasi. Dalam negeri khayalan pun aku tak
kuasa menyentuhmu. Ada penghalang antara kamu dan aku, mungkin itu rasa minder
untuk memilikimu yang sangat berharga. Tak kuduga, kamu duluanlah yang
menyimpan telapak tanganmu di pahaku.
Bukan, ini bukan khayalan. Kamu simpan tanganmu saat aku
menangis terharu. Kemudian kamu menghapusnya dengan ibu jarimu yang lentik itu.
Aku tak ingin malam ini segera berakhir.
“Kamu ingat dengan semua ini?” tanyaku sambil
memberanikan diri memegang tangannya.
Tentu saja tembang tunjuk satu bintang dari
Sheila On Seven masih mengudara. Lagu ini menjadi latar belakang percakapan
malam kita.
Kamu jawab dengan senyuman manis. Bahkan lautan tuak pun
tak sebanding dengan sunggingan manismu itu.
“A,” ucapanmu itu mengingatkanku pada harapanku yang
dulu. Ingin sekali aku dipanggil olehmu dengan sapaan itu. Selamanya.
“Asih tak akan lupa dengan kenangan kita, A! Saat main bepe,
ngadu cupang, ujan-ujanan, mentang layangan, gupak di sawah. Itu semua terlalu menyenangkan, sulit dilupakan.”
“Tapi kini Asih telah nerima lamaran Bang Rio. Kami
sudah lama tunangan, dan bentar lagi nikah,” ujarmu mendesah. Sembari
menunjukkan cincin indah yang melingkar di jari manismu. Seakan mencekik leherku.
Begitu cepat keindahan malam ini harus berakhir. Baru
saja aku merasa melayang di udara karena ucapanmu yang tak bisa melupakan kisah
kita. Kemudian kamu langsung menjatuhkan harapanku dengan berkata akan segera
menikah. Harapanku kembali musnah.
“Asih, Coba Kau tunjuk satu bintang!” pintaku padanya.
Tanganku menengadah ke angkasa raya. Mempersilakanmu memilih bintang lagi.
Sekalipun kamu menunjukkan satu bintang bersinar, kini aku bersedia
membawakannya untukmu.
Tapi kini jawabanmu berubah. Kamu gelengkan kepalamu.
Lantas meletakkan angsa ungu pada telapak tanganmu. Kamu menempatkannya
diantara dua wajah kita yang saling berhadapan satu sama lain.
“Inilah Bintangku,” ucapmu fasih.
“Origami itu?” tanyaku heran.
“Ia. Bintangku adalah ini. Bagiku bintang adalah sesuatu
yang mampu bersinar di tempat yang jauh. Memberi petunjuk keberadaannya, saat
salah melangkah.” Kata-katamu bersayap. Aku sulit memahaminya.
“Sama seperti angsa ungu buatanmu,” tambahmu lagi.
Sebenarnya aku masih belum mengerti. Tapi aku nyaman mendengarnya.
Kita berdua berdua begitu syahdu pada peristiwa kali
ini. Angin malam menusuk-nusuk rusuk. Tapi tak apalah, karena besok pagi aku
akan pergi jauh, kembali meninggalkanmu.
“Asih!” Ibumu memanggil. Suara itu seperti alarm yang berbunyi saat malam
menjelang. Kamu pasti tak mau mengecewakannya. Aku pun tak akan mencegahmu,
tidak seperti dulu. Aku membiarkanmu begitu saja. Kamu turun ke bawah dan masuk
ke rumah disusul ibumu. Meninggalkan aku yang masih berada di atas rumah pohon
ini.
Aku menarik nafas panjang, kemudian berbaring. Mencoba
menghilangkan penat dalam dada. Aku mulai menutup mata. Hijau bukan hitam.
Aneh, ketika aku menutup mata, aku rasakan cahaya hijau yang melingkupi
kelopak. Aku kembali menutup mata, masih hijau. Mungkin inilah warna syahdu.
Hijau, seperti warna surga.